IPNU Jatim
Di tengah derasnya arus modernitas dan riuhnya media sosial, muncul sekelompok orang yang gemar mencela serta merendahkan dunia pesantren. Mereka menuduh santri sebagai kaum kolot, jumud, bahkan fanatik buta terhadap kiai. Sedangkan kiai dituding sebagai figur feodal dan otoriter. Tuduhan semacam ini lahir dari ketidaktahuan—melihat kulit pesantren tanpa menelusuri kedalaman maknanya. Padahal, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan peradaban yang menghidupi jiwa.
Di dalam pesantren terjalin hubungan spiritual yang tak tergantikan antara kiai dan santri. Kiai bukan hanya pengajar ilmu, tetapi pembentuk watak, penuntun jiwa, dan penjaga moral. Sementara santri bukan sekadar pelajar, melainkan murid yang menempuh jalan panjang pencarian berkah dan ridha. Maka wajar bila yang tidak mengenal pesantren tak akan memahami mengapa suapan kiai, nasihat sederhana, bahkan tatapan matanya bisa menjadi lentera hidup bagi seorang santri.
Hubungan antara kiai dan santri tidak diikat oleh kurikulum, melainkan oleh adab dan cinta. Ia bukan hubungan formal yang selesai di ruang kelas, tetapi ikatan batin yang abadi. Kiai dan santri ibarat matahari dan cahaya, laut dan ombak—dua entitas yang tak dapat dipisahkan tanpa menghilangkan makna salah satunya. Kiai menjadi sumber ilmu dan keteladanan, sementara santri adalah penerus sekaligus penjaga nilai-nilai itu. Dalam tradisi pesantren, ilmu diwariskan bukan hanya lewat kata, tetapi juga lewat laku dan tatapan; lewat doa yang tak terdengar, tetapi terasa di dada.
Jika menggunakan istilah sosiologi klasik, hubungan kiai dan santri bisa disebut sebagai relasi patron-klien. Namun, ini bukan patronase dalam arti kekuasaan yang menindas, melainkan patronase kasih sayang. Kiai sebagai patron memberi bimbingan, arah moral, dan doa, sementara santri sebagai klien membalasnya dengan pengabdian, kesetiaan, dan doa pula. Dalam ikatan semacam ini tidak ada eksploitasi, melainkan pertukaran nilai: kiai menebarkan berkah, santri menanamkan khidmah.
Karena itu, dalam dunia pesantren tak dikenal istilah “mantan guru” atau “mantan murid”. Sekali seseorang menjadi guru, ia selamanya guru. Sekali seseorang menjadi santri, maka ia akan tetap menjadi santri sampai akhir hayatnya. Hubungan ini bersifat spiritual: ilmu yang masuk ke dalam hati santri bukan hanya hasil bacaan kitab, tetapi juga karena doa dan ridha sang guru. Maka, durhaka kepada guru dianggap sebagai petaka yang dapat menghapus keberkahan ilmu. Santri boleh menjadi ulama besar, pejabat, atau penggerak masyarakat, tetapi dalam jiwanya tetap tertanam sikap takzim kepada sang kiai yang mengajarinya huruf pertama.
Kisah para ulama menggambarkan hal itu dengan indah. Suatu ketika, cincin kesayangan milik istri Syaikhona Kholil Bangkalan terjatuh ke dalam septic tank. Para santri enggan mengambilnya karena jijik dan bau, namun KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu masih muda justru turun langsung mencarinya hingga ditemukan. Bukan karena cincin itu berharga, melainkan karena rasa takzim dan cinta kepada sang guru. Peristiwa itu menjadi simbol sejati dari akhlak seorang santri—bahwa kehormatan guru lebih tinggi daripada kenyamanan diri. Tak heran bila kemudian KH. Hasyim menjadi ulama besar dan pendiri Nahdlatul Ulama. Barangkali, keberkahan itu bermula dari keikhlasan beliau ketika merendahkan diri di hadapan gurunya.
Kisah lain datang dari KH. Kholid Musthofa. Suatu hari beliau menyadari kitab milik gurunya tertinggal di dalam bus setelah perjalanan jauh. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengejar bus itu hingga ke terminal akhir. Setelah kitab itu ditemukan, KH. Kholid menangis haru—bukan karena nilai materinya, melainkan karena takut kehilangan berkah dari benda milik sang guru. Dalam pandangan santri, kitab, sorban, atau bahkan pena milik kiai bukanlah benda biasa, tetapi simbol ilmu dan keberkahan yang harus dijaga.
Begitu pula dengan KH. Abdul Fattah Hasyim, yang dikenal sangat penyabar dalam mendidik santrinya. Suatu ketika beliau memiliki santri yang terkenal nakal. Alih-alih mengusirnya, KH. Abdul Fattah justru memberi tanggung jawab kecil di dapur dan kebun, menyapanya setiap pagi, hingga sang santri perlahan berubah. “Santri nakal itu jangan diusir, tapi diajak pulang ke jalan,” katanya. Sikap ini menunjukkan bahwa kasih seorang kiai tak bertepi. Ia memandang kenakalan bukan sebagai alasan untuk menghukum, tetapi peluang untuk membimbing.
Dari kisah-kisah itu, kita belajar bahwa inti kehidupan pesantren adalah khidmah—pengabdian tulus tanpa pamrih. Santri mengabdi bukan karena perintah, tetapi karena cinta. Ada yang berkhidmah dengan dirinya: membantu di dapur, membersihkan masjid, atau melayani tamu. Ada pula yang berkhidmah dengan hartanya: mendukung pembangunan pesantren, membantu perjuangan gurunya setelah ia mapan. Namun bentuk khidmah yang paling halus dan abadi adalah doa. Di mana pun seorang santri berada, ia akan selalu mendoakan gurunya setiap selesai salat. Di antara lafaz-lafaz yang ia panjatkan, terselip nama sang kiai yang pernah menuntunnya di jalan ilmu.
Itulah khidmah bin nafs, khidmah bil mal, dan khidmah bid du‘a—tiga wajah pengabdian yang terus menghidupkan hubungan kiai dan santri, bahkan setelah keduanya dipisahkan oleh jarak dan waktu. Bagi santri sejati, pengabdian bukanlah tugas, melainkan cara hidup.
Jati diri santri tidak diukur dari seberapa tinggi ilmunya, tetapi dari seberapa dalam pengabdiannya. Ridha kiai adalah prestasi tertinggi yang hanya bisa diraih dengan ketulusan hati dan kerendahan diri. Di zaman yang bising oleh pujian dan tepuk tangan dunia, santri tetap memilih jalan sepi: berkhidmah dengan tenang, berjuang dengan tulus.
Selama masih ada santri yang mencintai gurunya, meneladani akhlaknya, dan menjaga ilmunya, maka pesantren akan tetap hidup. Ia akan terus menyalakan peradaban Islam Nusantara, menebar cahaya di tengah kegelapan zaman, serta menjaga warisan luhur: bahwa antara kiai, santri, dan pesantren, terjalin ikatan cinta yang tak akan pernah putus—bahkan setelah kehidupan berakhir.
Penulis : Mohammad Nasih Al Hashas (Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Timur Bidang Jaringan Pesantren)

