IPNU Jatim
Akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan oleh tayangan salah satu program televisi, Xpose di stasiun Trans7. Dalam salah satu episodenya, program tersebut menarasikan cuplikan video seorang pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo dengan narasi yang dinilai tidak pantas serta menyinggung kalangan santri dan pesantren di Indonesia.
Sebagai santri, cara takdzim kepada kiai, guru, dan orang tua memang beragam. Dalam video tersebut tampak ada yang berjongkok, menunduk, bahkan mencium kaki. Semua itu bukanlah bentuk pemaksaan, melainkan ekspresi adab dan tata krama santri terhadap gurunya — sebagaimana para sahabat dahulu beradab kepada Rasulullah saw. Sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Abu Dawud:
عن زارع رضي الله تعالى عنه وكان في وفد عبد القيس قال: فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله. (سنن أبو داود، رقم ٤٥٤٨)
Artinya : “Dari Zari ra, ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, ia berkata: ‘Kami segera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi saw.” (HR Abu Dawud, 4548)
Cukup dengan satu dalil tersebut, dapat dipahami bahwa tindakan mencium tangan atau kaki guru bukanlah sesuatu yang berlebihan, apalagi menyimpang. Karena itu, narasi dalam tayangan Xpose patut dianggap menyesatkan dan menyinggung dunia pesantren yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adab.
Dengan jumlah pesantren mencapai 42.433 lembaga dan sekitar 1,3 juta santri (data Kemenag RI), belum termasuk jutaan alumni dan simpatisan, wajar bila tagar #BoikotTrans7 menggema di berbagai platform media sosial.
Beragam tuntutan pun bermunculan. Ada yang meminta Trans7 memberikan klarifikasi dan permohonan maaf dalam waktu 1×24 jam, ada yang menuntut agar pihak terkait sowan langsung kepada kiai dan nyai yang ada dalam video tersebut. Bahkan sebagian menyerukan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencabut izin siar Trans7.
Namun, pada kenyataannya KPI hanya memberikan sanksi penghentian sementara terhadap program Xpose. Tindakan ini dianggap belum memenuhi rasa keadilan dan kepuasan moral para santri, alumni, serta masyarakat pesantren.
Di tengah emosi publik itu, muncul pandangan yang lebih konstruktif dari Kiai Muhammad Fayyad, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid. Menurutnya, daripada terus memusuhi Trans7, lebih baik pesantren atau Nahdlatul Ulama justru mengambil alih ruang tersebut — misalnya dengan membeli saham dan mengelola program yang ada, agar media juga memiliki wajah pesantren. Hingga kini, memang belum ada satu pun stasiun televisi nasional yang dimiliki oleh kalangan pesantren.
Usulan ini tentu sangat bijak. Memboikot tanpa solusi justru bisa menjadi bumerang. Menuntut pencabutan izin perusahaan juga tidak bijak, sebab di dalamnya terdapat ribuan karyawan yang menggantungkan hidupnya. Sebagai santri, kita diajarkan untuk menjunjung tinggi nilai maslahah, bukan sekadar melampiaskan amarah.
Lalu, sampai di mana puncak kepuasan emosional santri terhadap Trans7? Apakah dengan menutup perusahaan, atau justru dengan mengambil alih dan memperbaikinya dari dalam? Jawabannya tampaknya sudah jelas — bahwa marah boleh, tapi harus tetap berujung pada maslahat. Wallahu A‘lam.

