IPNU Jatim
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, namun pertanyaan besar masih menggantung: apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar hadir di dunia pendidikan kita? Pertanyaan ini terasa relevan di tengah riuh program pemerintah yang sering lebih populis ketimbang menyentuh akar persoalan pendidikan bangsa.
Data APBN 2025 mencatat, fungsi pendidikan memperoleh alokasi Rp708,2 triliun atau sekitar 20 persen dari total belanja negara. Angka ini tentu besar. Namun, dalam praktiknya, perhatian publik justru banyak tersedot pada program makan siang gratis. Program tersebut penting untuk pemenuhan gizi anak, tetapi perlu dipertanyakan: sejauh mana ia mampu menjawab ketimpangan kualitas dan akses pendidikan?
Akar persoalan pendidikan bukan hanya soal gizi, melainkan juga soal akses, kualitas, dan keberlanjutan. Yang jauh lebih mendesak adalah membangun sistem pendidikan yang bermutu, gratis, dan dapat dijangkau semua kalangan. Pendidikan komprehensif mulai dari pembiayaan sekolah, penyediaan fasilitas yang layak, hingga akses sekolah unggulan bagi siswa berprestasi di tiap daerah akan memberi dampak lebih besar bagi masa depan bangsa dibanding intervensi jangka pendek.
Kesenjangan nyata terlihat di lapangan. Generasi unggul umumnya lahir dari keluarga mapan yang sejak dini disokong fasilitas tambahan: kursus, bimbingan belajar, hingga akses ke sekolah unggulan. Semua itu menciptakan ekosistem yang mengarahkan mereka pada prestasi.
Sebaliknya, anak-anak dari keluarga miskin, termasuk dari kalangan Nahdliyin, sejak kecil telah diperlihatkan betapa sulitnya orang tua berjuang hanya untuk membiayai pendidikan. Lebih ironis lagi, sekalipun ada yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, tidak ada jaminan lapangan pekerjaan layak menanti mereka. Akibatnya, banyak anak bangsa harus puas dengan pendidikan seadanya, sebagian bahkan terancam putus sekolah.
Kondisi ini membuktikan bahwa ketidakadilan pendidikan bukan hanya soal akses masuk sekolah, tetapi juga soal kualitas, keberlanjutan, dan relevansi dengan masa depan. Padahal, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan kewajiban negara menjamin hak pendidikan bagi seluruh warga negara. Pasal 31 ayat (1) menyatakan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Ayat (2) menegaskan: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Bahkan, pada ayat (4) disebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN maupun APBD.
Artinya, negara tidak hanya punya tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban konstitusional untuk menghadirkan pendidikan bermutu, berkeadilan, dan inklusif. Jika negara sungguh ingin menghadirkan kemerdekaan sejati, keberpihakan anggaran harus diarahkan pada pembangunan sistem pendidikan yang berkelanjutan, bukan sekadar program populis yang cepat dilupakan.
Inilah alarm serius: jika negara tidak segera memastikan keberpihakan pada pendidikan yang menyentuh kelompok miskin, maka kemerdekaan yang kita rayakan hanyalah seremoni. Sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga ketika setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan bermutu, membebaskan diri dari lingkaran kemiskinan, dan mengubah nasib keluarganya.
Organisasi kepelajaran seperti IPNU-IPPNU tentu tidak boleh tinggal diam. Kita harus mengawal arah kebijakan pendidikan agar berpihak pada yang lemah, agar anak-anak dari keluarga miskin juga bisa menjadi tumpuan harapan orang tuanya, dan agar pendidikan benar-benar menjadi pilar utama kemerdekaan bangsa.
Delapan puluh tahun merdeka, sudah saatnya bangsa ini jujur pada dirinya sendiri: tanpa pendidikan yang merata dan berkualitas, kemerdekaan kita akan selalu pincang.
Penulis : Ali Rohmatulloh, Sekretaris PW IPNU Jawa Timur

