HAPPY VALENTINE DAY-14 February 2015 “Lawan Segala Bentuk Kekerasan di Hari Kasih Sayang Galang Persatuan-Ciptakan Perdamaian”
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahkan dinas pendidikan pun mengeluarkan fatwa haram atau peraturan yang bernada mengharamkan merayakan hari kasih sayang, tiap 14 Februari. Peringatan ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa kelompok Islam kemudian mengeluarkan seruan boikot hingga aksi penolakan. Sayang, tak ada yang baru dan mencerdaskan pada polemik haram dan halal itu, sebab mereka gagal menghubungkannya dengan kapital dan pasar. Bagi pasar, tak soal apakah Hari Valentine itu halal ataupun haram, yang penting jadilah konsumen yang baik. Sampaikan kasih sayangmu melalui hadiah, dan teruslah berbelanja. Itu sebenarnya pesan tahunan perayaan hari kasih sayang sedunia itu.
Keterkaitan Valentine’s Day dengan kapitalisme memang bukanlah hal baru. Justru banyak kalangan yang menganggap ritus-ritus dalam Valentine’s Day ‘dibekingi’ kepentingan modal dalam reproduksi atau romantisasi ‘imagi’ cinta demi menciptakan pasar. Kini, kita tak perlu terlalu picik ‘mengharamkan’ tradisi perayaan Valentine’s Day sebagai budaya hedonis-kapitalis atau budaya asing yang ‘kafir’. Namun, kita juga tidak usah terhanyut dalam romantisasi hari Valentine yang hanya bergumul pada manifestasi ‘cinta sempit’ menurut ukuran penguasa kapital.
Yang perlu kita lakukan adalah menggali substansi yang ada pada perayaan hari Valentine dan menarik korelasinya dengan situasi terkini, ketika kepongahan kekuasaan negara yang ‘berselingkuh’ dengan modal telah menghancurkan ‘cinta’ yang paling hakiki, yakni keadilan dan kesejahteraan bagi kaum papa. Seperti halnya Saint Valentine yang rela berkorban demi melawan kekuasaan yang memperbudak rakyat, seperti itu pula kiranya kita. Demikianlah selayaknya Valentine’s Day kita maknai.
Situasi Terkini
Ditengah situasi krisis global yang semakin tajam, penderitaan rakyat atas jeratan ekonomi dan berbagai kesenjangan lainnya dalam Masyarakat terus diwarnai dengan berbagai tindak kekersan terhadap rakyat diseluruh dunia. Berbagai sektor tidak terlepas dari dampak krisis global yang terus digencarkan oleh Imperialis dengan melibatkan seluruh negara yang berada dibawah dominasinya untuk ikut bertanggungjawab dalam upaya penyelesaian krisis tersebut. Situasi tersebut pun telah menciptakan kegelapan bagi kehidupan dan masa depan rakyat diseluruh dunia. Kemiskinan masih menjadi masalah utama rakyat di dunia, sementara kekayaan dan kemakmuran hanya terkosentrasi di sedikit negara saja. Kekerasan dalam berbagai bentuknya, peperangan dan penghilangan bagi hak-hak politik rakyat. Berbagai upaya rakyat diseluruh dunia dalam memperjuangkan haknya terus dihadapi dengan berbagai tindak kekerasan bahkan dalam beberapa waktu terakhir kenyataan atas berbagai tindak kekerasan tersebut menunjukkan peningkatan yang significant baik di Eropa, timur tengah hingga ke wilyah Asia dan tak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, rakyat terus dihadapkan dengan berbagai tindak kekerasan dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus ataupun persoalan-persoalannya. Gerakan buruh yang selain dihadapkan dengan pemotongan upah juga tidak terhindar dari tindak kekerasan sebagai upaya pemerintah untuk memberangus gerakan buruh, pun demikian dengan buruh migrant dan, pastinya rakyat pekerja disektor lainnya juga dihadapkan dengan persoalan yang sama. Disektor Pertanian Justeru kenyataan tersebut lebih massif dilakukan baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah melalui Aparat polisi dan TNI yang sebagai alat kuasanya. Masih teringat jelas kasus kekerasan di Rembang antara ibu-ibu petani dengan aparat yang menjadi beking Semen Indonesia, kemudian kekerasan pada petani di Wongsorejo, Banyuwangi, serta yang paling terbaru adalah intimidasi oleh oknum aparat terhadap para pegawai KPK dan berbagai kasus kekerasan di berbagai daerah lainnya.
Momentum peringatan hari kasih sayang (Vakentine’s Day), selayaknya jangan hanya dianggap sebuah peringatan yang terbatas pada ungkapan perasaan terhadap pasangan. Namun secara labih luas, peringatan ini memiliki makna bagi kita untuk memberikan kasih sayang terhadap sesama manusia, tanpa adanya batasan suku, agama, ras maupun golongan. Momentum ini merupakan sebuah momentum yang sangat tepat bagi kita untuk melakukan kampanye melawan berbagai kekerasan yang terjadi belakangan ini.
Valentine’s Day kali ini juga harus didasarkan kepada keharmonisan sosial, bukan hanya didasarkan kepada ritual keagamaan atau kenikmatan cinta sempit dari masing-masing individu. Agar dialektika antarsesama bisa berjalan sesuai dengan prinsip masing-masing keyakinan. Juga harus ada saling terbuka terhadap apa sebenarnya yang mereka rayakan agar kecurigaan dari yang tidak suka tidak menimbulkan konflik yang diskriminatif.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita mempu menerjemahkan pesan dan nilai pluralis-humanistik di balik perayaan Valentine kali ini. Baik yang merayakan ataupun tidak. Ketika kita tidak mampu memaknai substansi dari perayaan yang berlangsung, akan menghambat kepada indahnya kebersamaan, perdamaian dan hakikat dari perbedaan. Karena bagaimanapun secara makna universal bangsa Indonesia heterogenitas kesukuan dan kebudayaan pengaruhnya sangat kuat menjalar terhadap ekstremisme agama dan keyakinan. Maka dari itu, perayaan Valentine’s Day harus menjadi aspirasi dan inspirasi kebangsaan agar falsafah hidup bersama yang tertanam dalam Bhinneka Tunggal Ika akan tetap terjaga, sebagaimana yang dicita-citakan Gus Dur. Bukan sebatas hura-hura tanpa makna.
Press Release PC IPNU Kota Surabaya