Bagaimana M Said Budairy Menjadi NU?
SATU PAGI di pengujung April 2009. Said Budairy menerima tiga anakmuda di kediamannya, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dia mengenakan baju koko tipis putih dan bersarung. Kopiah putih menutupi rambutnya yang menipis dan beruban. Tiga anakmuda ini generasi baru dari apa yang sudah ditapaki Budary lebih dari setengah abad silam.
Satu anakmuda itu bernama Caswiyono Rusydie, satunya Fahsin M. Fa’al. Keduanya aktivis Ikatan Pelajar Putra Nahdlatul Ulama. Mereka datang guna mencari riwayat Kiai Tolchah Mansoer, salah seorang pendiri organisasi pelajar itu.
Ruang tamu kecil. Diisi satu set sofa buat lima orang. Warna kain sofa, biru muda, sudah terlihat kusam. Ada sobekan sepanjang jari kelingking di bagian sofa. Rumah Budairy tanpa halaman. Garasi cukup untuk satu mobil.
â€Saya bingung tempat parkir kalau mau ngundang banyak orang ke sini,†katanya, datar. Dulu orang-orang teras NU belum punya mobil. Mereka biasa kumpul tanpa memikirkan tempat parkir.
â€Mas Said ada di antara sedikit tokoh NU yang tidak neko-neko. Tidak tengok kanan, tidak tengok kiri. Pokoknya beliau tidak mencari materi. Itu saya tahu betul,†kata Umar Wahid, seorang dokter yang dekat dengan Budairy sejak 1963.
â€Anda lihat ndak, ada seorang tokoh nasional tinggal di gang kecil?!†kata Gus Umar – panggilan Umar Wahid merujuk rumah Budairy.
Ada dikenal “Kelompok G†dari generasi Budairy. Ini kelompok yang “menggerakkan, menyiapkan, dan merumuskan†kembali khittah NU 1926. Dari kelompok ini muncul “Majlis 24â€, beranggotakan 24 orang antara lain Fahmi D. Saifuddin, Mahbub Djunaidi, Sahal Mahfudz, Mustofa Bisri, Abdurrahman Wahid, Tholchah Hasan dan Said Budairy.
Majlis 24 lantas mengerucut menjadi “Tim 7â€. Gus Dur dan Zamroni dipilih ketua dan wakil ketua, Mahbub, Fahmi, Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja sebagai anggota. Budairy sendiri ditunjuk sekretaris. Mereka inilah ujung tombak gerakan khitah yang terkenal hingga sekarang dalam sejarah utama perkembangan NU.
“Kelompok G†merujuk alamat rumah Budairy di Mampang. Ia kemudian berafiliasi dengan “Kelompok Situbondoâ€, dipimpin Kiai As’ad Syamsul Arifin. Mereka mengkritisi Kiai Idham Chalid, populer dengan “Kelompok Cipeteâ€, merujuk pada daerah kediaman Chalid.
â€Di Kelompok Cipete ada Kiai Ali Yafie, Kiai Musadad, Nuddin Lubis dan banyak lagi. Tapi saya tidak tahu siapa yang memunculkan kelompok-kelompok ini. Rasanya tiba-tiba saja muncul,†kata Chalid Mawardi, yang digolongkan Kelompok Cipete.
Arief Mudatsir Mandan mencatat, “Kelompok Situbondo†pernah mendatangi Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri dari ketua umum PBNU. Alasannya kesehatan. Empat kiai senior yang datang itu adalah Kiai As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo, Situbondo), Kiai Ali Ma’shum (Krapyak, Yogyakarta), Kiai Machrus Aly (Lirboyo, Kediri) dan Kiai Masykur (Jakarta).
Dalam arena muktamar NU 1984 di Situbondo, “Kelompok G†meroket. Mereka berhasil menggolkan kredo, Khittah 26. Mereka berhasil pula mempensiunkan Idham Chalid, yang menjabat selama 28 tahun. Dari muktamar inilah, Abudrahman Wahid tampil sebagai ketua umum PBNU. Baca selengkapnya…